” Sabar ya kristin “ ucap Olin dan Cecilia. Kristin terunduk, ia tak punya banyak tenaga. Bahkan untuk menatap dua sahabatnya yang selalu berusaha datang setiap hari setelah kejadian kecelakaan orang tuanya. Sudah hampir setengah bulan kristin menjadi pemurung, gadis ceria yang hobi belanja itu kini tinggal bersama neneknya.
“Olin, lia.. Aku tidak tau apakah aku akan tetap sekolah atau tidak, aku tak punya apa-apa. Kasihan nenekku sudah hampir 70 tahun, kami tidak mungkin memiliki cukup uang untuk melanjutkan sekolahku “ lirih Kristin, masih dengan menunduk, tapi bulir air mata terlihat jelas jauh dari wajahnya yang tersembunyi.
” Tapi cuma setahun 3 bulan lagi kita sekolah, masa kamu mau nyerah gitu aja sih? Nanti kita ke pa Adi aja bilang dan minta bantuan, saran atau apapun yang bisa kita lakukan. Kok kamu nyerah gini sih, kamu harusnya bangkit dan membuat Mama Papa mu bangga di surga “ tutur Lia dengan berapi-api. Kristin kemudian bangkit, dengan nada marah dan suara yang serak.
” Pergi kalian dari sini, tau apa tentang bangkit ? Tau apa kalian tentang kehilangan ? Tau apa kalian tentang menyerah. Pergi.. Pergi ga usah membuang waktu menemuiku lagi.” Kristin dengan mata merahnya yang sembab, telunjuknya mengacung-ngacung seakan mengutuk kedua sahabatnya Olin dan Lia. Semua jadi hening setelah nenek Kristin membawa Kristin masuk.

Sesak dada Lia mengingatnya. Mana bisa Kristin sebegitu marahnya, tapi kemudian Olin datang. Dengan jilbab kusut selepas berlatih taekwondo. Ia paham betul yang ada dipikiran Lia. ” Jangan dipikirkan lia, ini memang salah kita. Harusnya kita tidak datang untuk menggurui nya, cukup menghiburnya atau bercerita saja, meskipun Kristin tidak bergeming. Kita yang tidak boleh menyerah. Aku membayangkan semalam, bagaimana jadinya kalau aku diposisi kristin. Mungkin aku pun sama hancurnya “ tutur Olin. Lia hanya mengangguk. Ia mengerti.
Hari berikutnya lebih menyakitkan untuk mereka berdua. Kristin bahkan tidak mau membukakan pintu dan keluar menemui mereka. Wajah lesu di bawah terik matahari itu berjalan menuju jalan raya, mereka tak habis pikir Kristin enggan bertemu mereka lagi. Neneknya yang bilang begitu.
Di bawah pohon rindang di sekolah. Olin duduk, membaca Syaamil Quran sambil wifi-an dengan modem smartfren 4G Lte sedangkan Lia asyik menonton film kartun. Itu kebiasaanya.
Jam istirahat itu mereka tidak membicarakan Kristin, dan sudah 2 hari mereka tak menemui kristin. Lia enggan, ia bilang ” aku malas sakit hati Lin “
Sedangkan Olin tengah sibuk memikirkan sesuatu. Rencana untuk kristin.
Bantuan internet cepat dari moden smartfren 4G LTE mempermudah rencana Olin dan Lia, mereka tiba-tiba jadi sangat sibuk bolak balik ruang tata usaha, ruang guru dan ruang kepala sekolah. Belum lagi pulang sekolah, mereka sama sibuknya pergi kesana kemari tak kenal menyerah. Saat pintu satu menolak mereka, mereka bergegas mencari pintu lain.
” Kamu hebat Olin, bisa memikirkan ini semua untuk Kristin “ kata lia memuji. “Si Olin tea atuh” jawab olin. Keduanya kemudian saling tertawa, tawa anak remaja yang khas. Kedua sahabat ini bersuka cita.
3 minggu sudah Olin dan Lia tidak menemui Kristin. Siang itu mereka datang, tidak berdua melainkan bersama Pak Adi, wali kelas mereka. “Kristin kembalilah sekolah” bujuk Pak Adi. Masih dengan tertunduk ” Tidak pak, saya dengan nenek saya disini saja. Saya yatim piatu sekarang, ayah dan ibu tidak meninggalkan harta apa-apa untuk bekal saya karena semua yang orang tua saya miliki adalah aset dari perusahaannya ” tangis Kristin tertahan. “Kami paham betul masalahnya, tapi Olin dan Lia sudah menyiapkan segala sesuatunya. Kamu akan sekolah, mulai besok. Jadilah anak yang baik, rajin, belanjanya dikurangi” kelakar Pak Adi sambil menasihati. Setelah paham betul yang disampaikan oleh Pak Adi, lalu wali kelas mereka pamit pulang.
Sedangkan Olin, Lia dan Kristin saling bertatapan. Tangis kristin meledak dipelukan kedua teman-temannya.
“Kok bisa kalian menemukan orang tua asuh untukku ?” tanya kristin dengan wajah ingin tau. Si Olin kemudian bercerita ia dan Cecilia mengumpulkan hasil raport terakhir Kristin dan mengajukan pengajuan orang tua asuh ke beberapa nama, lembaga dan organisasi. Si Olin pun menceritakan bagaimana saat mereka ditolak beberapa tempat yang sudah mereka datangi ” Tin, jika pintu tidak terbuka maka buatlah pintunya” tegas Olin mantap.
Ia kemudian membuka tas dan memperlihatkan banyaknya orang yang kemudian berdonasi agar Kristin tetap bisa sekolah. Bahkan Olin dan Lia keliling gereja, mesjid dan wihara mencari donatur dan info orang tua asuh. Maka bertemulah mereka dengan Pak Ronald salah satu jemaat Gereja Santo Petrus yang bersedia jadi orang tua asuh selama setahun ke depan alias sampai Kristin lulus. Sedang untuk 3 bulan kedepan, bantuan donasi datang dari banyak arah yang jumlahnya pun tidak sedikit. Kristin menangis, ia tak habis pikir setelah diusir, kedua sahabatnya malah berjuang lebih keras.

” Lia, bagaimana kalian bisa meyakinkan jemaat nasrani. Sorry, maksudnya kok bisa tiba-tiba dia akhirnya mau gitu “ seru Kristin nyaris tidak percaya, 2 gadis 16 tahun yang satu muslim yang satu Budha berhasil meyakinkan seorang nasrani yang taat. ” Tuhan itu maha baik. Sudah rezekimu untuk sekolah dan membuat mama papa bangga. Jangan usir kita lagi ya “ kelakar Olin. Kristin tersenyum, senyum pertama setelah lebih dari satu bulan ia selalu menunduk. Ia masih tak habis pikir bagaimana mungkin Olin dan Lia bisa berhasil dalam waktu sesingkat itu menjamin sekolahnya selama lebih dari setahun ke depan.
” Kalian kok baik banget sih Lin, Lia “ tanya Kristin lagi, kali ini wajahnya menengadah ke langit. Rambut ikal Kristin membuat remaja ini keliatan cantik, apalagi dari samping. “Saudara-saudara Mama Papa aku aja ga ada yang peduli sama aku, makanya aku sama nenek” tambah Kristin, air mata nya tertahan. Lia berpindah ke sisi kiri, membuat Kristin berada ditengah mereka berdua. Sambil mengelus punggung kristin menguatkan.
“Keluarga itu bukan tentang darah, bukan tentang suku atau agama. Tapi orang yang mau berusaha membantu kamu dan melihat kamu senyum lagi. Kita kan sobatan udah lama, meskipun banyak perbedaan tapi buktinya kita masih bareng dan akan terus baik hubungan persahabatan kita ini “ tutur Olin bijak. “Iya Tin, keluarga itu bukan soal darah. Bukan. “ Lia menambahkan.
“Guys, makasih banyak ya. Ini berarti banget buat aku. Kalian, ajarin aku untuk ga menyerah ya, untuk selalu bangkit dan buat mama papa bangga di syurga” pungkas Kristin. 3 sahabat ini berpelukan lagi. Kali ini pelukan bahagia, kali ini pelukan keluarga.

Dan memang benar, keluarga itu bukan soal darah.
Salam,
Yasinta Astuti
Huaaa keren teteh..
Berbakat nulis cerpen jugaaa.. 🙂
Aku pengen nyoba tapi binun nulis apa. Hahah..
DUuuh jauh deeh teeh kalau jadi cerpenis maaah..
Ayo teeeh ikutan atuuuh
😀 si Olin sunda banget hehehe. suka karakter olin. cerpennya bagus teh. endingnya gak ketebak.
Ihihihi wish me luck mbaaak…
Olin orang sunda, kalau orang barat jadi olive ehehhe
Keren…
Udah lama nih saya ga nulis cerita fiksi, kangen…