” Kami tidak pernah takut hujan, yang kami takut adalah sepatu kami rusak “
Ini musim hujan, rumah yang jauh dari jalan besar sempurna menciptakan kelebatan -kelebatan memori masa kecil, saya terlatih sekali jalan berkilo-kilo meter sejak kelas 2 SD, makin expert di SMP dan SMA berjalan belasan kilometer hampir setiap hari. Dan setiap catur wulannya, semesternya, tahunnya dramanya selalu sama. Dipecundangi sepatu.
( Personal blog is like diary, so i am confide in. It will be a long story )
( Throw back *tears drop) Mamah akan bingung, siapa yang akan di belikan sepatu duluan. Kakak saya yang jarak sekolahnya 1 km lebih jauh tapi pakai sepeda, saya yang selalu kehujanan, atau adik saya sebagai anak bungsu.
Lalu akhirnya saya akan berpuas diri menunggui antrian sol sepatu di bawah pohon mangga, duduk di atas karung-karung pasir yang di simpan berjajar, bertumpuk.
Saya akan bertanya kepada tukang sol tentang benang apakah itu yang dipakai untuk sol sepatu saya, apakah akan kuat hingga berbulan-bulan walau kehujanan, saya akan meminta di buatkan sol zig-zag karena itu lebih keren dan sempurna menutupi pinggiran sepatu yang mulai robek, lalu mamah akan menyuguhi teh manis hangat dan uang 4-6 ribu rupiah untuk sol sepatu tahun itu.
Maka caturwulan, semester lalu 1 tahun ajaran akan berlalu dengan menyikat sepatu sedemikian rupa agar terlihat lebih bersih. Itu terjadi pada kami semua bertiga. Obi, saya dan Depi dan kadang kami bergantian, tidak melulu semua sedih, karena salah satu dari kami seringkali punya sepatu baru, bagi yang punya sepatu baru akan kami injak-injak agar seimbang ketika keluar rumah. Saya pernah dan kesal sekali.
Di hari lain, pagi yang indah kami semua tersenyum terasa berjalan di atas mentari pagi yang hangat, kami bertiga punya sepatu baru. Tidak ada insiden saling menginjak, jalan saja sangat berhati-hati menghindari jalanan becek.
Masih tentang sepatu, di hari yang lain, saya akan tergugu sedih karena di haruskan memiliki sepatu olahraga, dan tidak punya. Untuk anak berumur 14 tahun dan berada di lingkungan orang mampu tentu menjadi hal lain, entahlah perasaannya kadang masih bisa saya ingat jelas.
Bisa di bayangkan bukan ? Meskipun tentu saja hikmahnya saya jadi menemukan teman senasib sepenanggungan lainnya, sama-sama duduk menunggu giliran pinjam sepatu teman, pulangnya kami berdua tertawa sambil makan es susu coklat seribu 3 di belakang mesjid.
Pernah suatu hari setelah kebakaran rumah, saya tetap pergi sekolah walau tidak punya sepatu. Sendal jepit, saya memakainya dan naik angkot, kadang saya menemukan pandangan orang iba, mungkin mereka mengira kaki saya habis kecelakaan hingga pakai sandal ke sekolah ya hehe.
Segan rasanya masuk ke area sekolah, SMP tempat saya sekolah adalah sekolah favorit, saya yang terkena musibah waktu itu mendadak terkenal mendapat ratusan pelukan dari orang-orang yang tidak saya kenal. Ternyata mereka tidak ngeuh saya yang malu – malu karena tidak pakai sepatu.
Pulangnya, ada seorang teman chinesse menghampiri saya menyerahkan sebuah dus, dus sepatu. ” Ini dari teman-teman gereja aku yas, kamu pinter. Semoga kamu tetep sekolah ya ” saya tidak terlalu dekat dengannya tapi kami berpelukan tanpa segan.
Sejak itu saya punya banyak teman beda agama.
Saya pulang, membukanya sendirian di teras depan dengan ayam-ayam berseliweran, ga lucu untuk dibayangkan memang. Perasaan membuncah, saya memanggil mamah, ini sepatu terbagus yang pernah saya terima. Mama senang, karena dengan begitu saya akan semangat sekolah lagi tanpa malu.
Jika diingat, lucu memang rasanya dipecundangi sepatu ini.
Selepas sekolah masa dipecundangi itu rasanya tidak usai. Masa awal-awal bekerja, saya akan keliling lihat – lihat sepatu bagus sebagai inspirasi, lalu akhirnya mencari yang mirip di pasar baru atau kota kembang hahaa.
Lalu semuanya berangsur membaik, saya tidak lagi segan masuk ke toko sepatu besar. Bahkan saya bisa puas hanya dengan melihat, tunjuk, bayar dan merasa menang.
Pernah suatu hari, saya bertemu sahabat seperjuangan ketika masa SMP dulu. Dia ke rumah, kami mnegobrol panjang lebar dan melihat banyaknya sepatu di rak dia berkata ” kita belum sembuh ya hahha ”
Bertahun – tahun saya terus balas dendam pada luka di masa lalu, kemudian saya tersadarkan.
Di Pecundangi sepatu ( Photo by : Me )
Apa salah ketika saya memiliki banyak sepatu? Karena itu sempurna, membuat saya menang atas banyak kejadian sedih masa kecil, saat saya harus memakai sepatu basah sampai kering di jalan atau masa saya menemukan telapak kaki terbakar karena alas sepatu nya sudah tak karuan. Saya ini dipecundangi sepatu, lalu saya merasa menang setiap kali berhasil memiliki yang saya ingini. Hanya balas dendam, bahwa saya tak kalah lagi dari barang konyol macam sepatu.
Bulan lalu saya mendengar dari obrolan tak sengaja dengan seorang teman “ ya semua barang itu pada akhirnya akan dihisab ketika tidak dipakai atau digunakan dengan baik ” kata-kata tersebut sempurna menampar saya langsung ke hati karena apa yang dibilang sempurna dan benar.
Pulangnya saya masuk gudang, garasi, bawah tangga dan kamar. Apa yang sudah saya lakukan? Saya punya banyak sekali sepatu, dan saya baru sadar dari sekian banyak itu hanya itu-itu saja yang sering saya pakai. Ternyata bukan yang memiliki warna atau model bagus melainkan warna biru jeans yang sudah kumal, rabet-rabet gaes.
Saya memilih model begitu, sepatu dengan harga diatas 400 ribu kok bisa saya malah memilih model sepatu seperti itu ya, haha dan jadi sepatu yang sering dipakai diantara yang lain, dengan warna jeans bladus dengan benang-benang yang di buat terurai seperti sudah mau lepas.
Saya baru sadar belakangan, sepatu itu nyaman sekali. Tidak peduli bagaimana terlihatnya dan saya ternyata rindu dan menikmati setiap kejadian dipecundangi sepatu,sepatu robek – robet alami yang membungkus kaki saya berjalan.
Dulu dengan gembira saya akan memilih sepatu paling hitam dan mulus di toko bersama mamah, sekarang saya memilih dan memakai sepatu dengan model paling sederhana tapi nyaman, mirip sepatu – sepatu yang saya tinggalkan dulu karena tak bisa lagi dipakai jalan. Hidup sebegini lucu berjalan di bawah kaki saya.
Saya sudah sembuh, beberapa minggu sebelum menulis ini. Saya mengobrol dengan sahabat baik tentang ini. Rupanya saya sudah bisa berdamai dengan luka masa kecil. Saya sudah tidak merasa menang ketika mampu membeli sepatu baru, saya sudah sembuh karena tidak membutuhkan banyak sepatu yang dipajang atau ditumpuk layaknya piala tanda saya sudah lebih menang atas kejadian – kejadian suram masa kecil.
Saya kini hanya membeli sepatu ketika memang saya merasa membutuhkannya atau benar-benar menyukainya. Membeli dengan sadar, tidak lagi karena emosi.
Potongan – potongan ingatan itu terkadang menyapa, saya yang dulunya menghindar kini menerima.
Jadi ingat masa SMP bersama sahabat saya ini, kami bilang akan menagih janji tuhan yang katanya tidak selamanya turun hujan, dengan terbungkus sepatu bolong dan kaos kaki basah, saya dan dia berkata suatu hari kami bakal ketemu, keren, cantik dan pake sepatu bagus masa sih hidup kita hujan terus.
Anak 14 tahun sambil makan es susu coklat menunggu hujan reda, tempat terbaik untuk berteduh. Kami berteduh bukan karena takut hujan, kami takut sepatu kami rusak.
Saya sudah sembuh, begitupun sahabat saya. Sesekali kami masih bertukar cerita lewat chat. Kami sadar sekarang tidak ada masa dipecundangi sepatu, semua cuma soal waktu.
Badai selalu menyisakan pohon – pohon terkuat
Salam,
yasinyasintha
Dulu waktu aku kecil momen membeli sepatu (dan tas) adalah momen bahagia bersama bapak/mama, ah kangen mereka
Iya nulis ini, kangen mama huhu
Saya baca dari awal sampai akhir, kisahnya tak jauh beda dengan masa kecil saya mbak, tapi saya tak bisa menulis sebagus ini. Saya suka tulisan nya.
Wah makasih mba Ria. Ayo nulis terus, pasti bisa bagus dan berkarakter 😀
ceritanya mirip dg hidup saya bedanya objek yang saya lampiaskan adalah baju. waktu itu teman berkata “baju kamu hanya itu2 saja beli donk” saya yang hidup pas-pasan merasa minder terlebih dikatai spt itu. Hasilnya skrg saya bisa dan mampu beli baju apapun bahkan saat gadis spt khilaf baju satu lemari penuh blm jg terpuaskan hingga akhirnya saya berubah. Bener mba semuanya akan dihisab dan dipertanyakan mulailah saya bagikan. saya juga sdh berubah 🙂 salam kenal mb
Toss kita mbak.. Salam kenal 🙂
Cerita nya agak mirip mba sama aku. Bener2 lucu kalo inget jaman dulu sama jaman sekarang. Untung nya sekarang udah bisa banget nahan buat ngga beli sepatu2 kalo ngga butuh banget ?
HIhi iya mbak. Udah sembuh berarti ya 😛
Jadi ingat masa lalu, Teh
bikin berkaca-kaca
Makasih mba sudah mampir 😀
duh ceritanya bikin terharu :”)
saya juga tipe yang sepatunya itu-itu aja. kalo udah jebol baru beli. Sepatu andalan saya dari SMA merknya PX Style dari kanvas, dulu harganya 35 ribu (sekarang 50 ribu aja kudu nawar huft!)
Ya, sampai sekarang saya masih kerja pake sepatu itu, hadir di event blogger pake sepatu itu, pergi kemana-mana pake sepatu itu… dengan model dan warna yang sama.
jadi pengen nangis.
Hihi semangaaat.. Ayo beli sepatu yang banyak *eh
saluuut, aku ga bisa bayangin sanggub berjalan berkilo2 saat masih sekolah dulu… :0 .
yang penting sekarang udah ‘sembuh’ dan menang ya mbak ;).. agak terharu nih baca ceritanya 🙂
Makasih mba Fanny. Iya badai itu menguatkan aku *tsaaah
Nah iya teh.. Hiks ..
Tapi emang harus ada ceritanya, jadi kita belajar terus ya
Dipecundangi sepatu
Nyimak mba yasinta, kunjungan perdana salam kenal mba