Penyakit Psikosomatis dan Penerimaan Diri

“Jangan stress” orang bilang, atau mungkin pernah juga saya katakan pada orang lain. Atau juga sering saya tuliskan pada konten pekerjaan saat bekerja menjadi konten kreator untuk Yayasan Kanker juga rumah sakit. Stress jadi bagian tak terhindarkan dari gaya hidup sehat yang mencegah seseorang terkena penyakit serius. Namun siapa sangka, saya pun pernah mengalaminya.

Disclaimer dulu, saya melewati ini sekitar satu tahun. Dalam hal stress dan trauma sepertinya seseorang tidak bisa dikatakan sepenuhnya sembuh, sepenuhnya menjadi perjalanan.

Runtuhnya Kepercayaan, Jatuhnya Kesehatan Mental

Di mobil yang melaju cepat menuju rumah, saya ingat sekali salah satu teman blogger saya, bersama teh Langit. Cerita lengkapnya saya lupa, tapi kalimat akhir yang dilontarkan saat itu saya ingat betul “trust nobody” katanya. Saat itu saya cuma angguk-angguk saja, hingga sampai pada kondisi sekarang, saya turut mengiyakan. Entah apa yang sudah teh Langit alami hingga bisa punya quote se-dahsyat itu, dan duka yang saya alami sampai kini setuju dengan quote itu. Saya rasa kita tak bisa menyamakan duka seseorang dengan yang kita alami.

Tahun lalu, di hari pertama ramadhan. Kepercayaan saya terhadap orang-orang juga pada diri sendiri runtuh, tidak ada tangis saat itu terjadi. Saya pun tidak tau, itulah awal mula jatuhnya kesehatan mental saya. Fokus menyelesaikan masalah hingga lupa bagaimana tubuh menerjemahkan, sibuk di luar dan abai pada apa yang terjadi di dalam. Satu saat kemudian saya mulai bertanya, apa yang terjadi pada tubuh saya? Jarak saya dengan diri sudah jauh. Sulit rasanya menggapai diri sendiri, saya yang mengagungkan betapa saya tau diri sendiri saat itu merasa konyol.

Belum selesai dengan berjarak pada diri sendiri, saya berjalan bak robot dengan mode autopilot. Tidak merasa senang, sedih, marah atau kecewa. Sesuatu dalam diri terus mendorong mencari jawaban dari pertanyaan “Kok aku gini ya sekarang, apa yang terjadi? Harus gimana?” berputar dalam pikiran, 1×24 jam. Tidur mulai ngaco, makan berantakan. Di sinilah awal mula penyakit psikosomatis muncul.

Dikatakan saya mengalami radang usus, maag kronis, gerd, kelainan hormon dan diagnosa lainnya. Minum obat setidaknya 5 sehari dan 2 vitamin di sela waktunya. Kondisi tak jua membaik, di beberapa waktu saya bahkan bisa merasakan darah di kerongkongan saat dada sesak dan panas. Jantung berdebar tak karuan, setiap hari terasa seperti hari terakhir. Pikiran saya sibuk memutar segala pertanyaan, diagnosa terakhir dikatakan penyakit jantung, aritmia. Soal lambung katanya radang usus, harus endoskopi dll.

Siapa sangka, runtuhnya kepercayaan jadi awal mula jatuhnya kesehatan mental. Jadi awal mula segala penyakit kemudian berkubang.

Patah untuk Celah Cahaya dan Pintu Bernama Penerimaan

“Hanya lewat celah, cahaya masuk” begitu kurang lebih kata Rumi. Siapa sangka, obat dari segalanya adalah penerimaan diri. Saya beruntung lahir dan besar sebagai muslim, perintah shalat 5 kali sehari yang awalnya saya pandang sebagai kewajiban berubah jadi sessi curhat yang jawabannya tidak saya dengar melainkan saya rasakan di dalam hati.

Saya berhenti ke psikolog, saya coba mengurai sendiri walau sakit. Ibarat membuka kamar gelap yang membuat saya takut. Di sebuah pagi saat anak-anak sekolah saya duduk sendirian dengan pulpen di tangan, kertas kosong itu jadi media saya mengurai segala kronologi. Ajaibnya, setelahnya saya kemudian bisa menangis, terisak tersedu setengah teriak. Menghabiskan hampir 2 kotak tisu berisi 2ribu lembar. Ahh ini dia emosiku, bisikku dalam hati. Saya peluk semua rasa, saya bisa kalah saya bisa patah ternyata. Begitu yang saya sadari.

Sakit fisik masih ada, panas yang menjalar dari pundak menuju kepala belakang. Jantung yang berdebar tidak beraturan, sesak dan panas di dada. Saya kini tau, tubuh saya tengah dilanda bingung dalam kendali pikiran yang berantakan. Intensitasnya berkurang pada akhirnya, saya juga beralih pada obat-obatan herbal berupa bumbu dapur yang diseduh atau dididihkan. Saya mengenal apa itu meditasi, mulai olahraga sendiri. Dan ya, secara ajaib itu menjadi cara Allah membuat saya mengerti.

Jika disebut sudah ikhlas saya tidak tau, tapi di atas itu semua saya kini sudah menerima. Sakit fisik yang saya alami pun saya terima, tidak lagi saya usir dan tolak. Ternyata pintu kesembuhan itu bernama penerimaan, hingga saat ini saya belum begitu pandai melakukannya, dan saya terima itu.

Soal kata percaya, saya kemudian setuju dengan teh Langit “trus nobody” dan saya tambahkan menjadi : “trust nobody but you”, deep deep inside kita selalu tau bahwa iman kita pada Allah pada akhirnya akan membantu kita menemukan jawaban, tidak selalu mudah. Tapi percayalah, bersama kesulitan itu ada kemudahan.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *