Hari ini, banyak sekali pemberitaan tentang macet natal ( long weekend ) yang katanya lebih buas dari macetnya mudik lebaran. Semua orang tumpah ruah bepergian mengunjungi keluarga, pergi ke tempat wisata dan beragam kepentingan lainnya ( saya tidak bicara soal agama )
Bersyukur sekali, saya dikelilingi oleh teman-teman yang mengasihi dan menyayangi. Yang menganggap saya adalah bagian dari keluarga mereka. Jika dulu saat natal tiba saya betah didepan TV karena beragam tontonannya saya bahagia, saat beranjak dewasa bertemu dan bisa memiliki sahabat dekat yang mengajak saya ikut serta dalam malam natal ( makan dan ngobrol ) keluarga.
Karena bisnis fotografi pula, maka tak luput dari keperluan pekerjaan yang akhirnya membuat saya dan papi jadi dan melewati malam natal bersama keluarga besar sahabat kami. Bukan main memeras air mata dan juga tawa. Sajian beragam cerita yang tak ayal membuat jebol pertahanan kelopaj mata. Salah satu lagu yang sering dinyanyikan adalah ” Di doa ibuku “ sessi ini para orang tua duduk, anak – anak dan cucu mereka menyanyikan lagu ini.
Pemandangan yang mengharu biru saya, yang membuat langsung merindu mama.
Ada juga sessi kenangan yang mengundang tawa renyah dari semua orang yang hadir. Malam natal hampir sama dengan idul fitri, pada intinya adalah berkumpul dan menyadari tuhan itu maha baik.
Natal itu milik semua.
Milik karyawan yang dapat cuti akhir tahun, milik orang yang lembur demi bayaran tinggi, milik anak-anak sekolah yang gembira riang. Dan milik saya yang memiliki banyak keluarga.
Perbedaan itu indah. Perbedaan itu memperkaya. Karena semua agama adalah baik, karena agama adalah yang mengajarkan kepada kebaikan dalam berbagai cara, entah cerita atau nyanyian, entah pujian atau titah langsung.
Ahh… Saya tidak akan lupa, keluarga tempat saya ikut merayakan natal adalah mereka yang memiliki peran besar dalam pernikahan saya yang sampai kini masih belum mampu saya balas budi baiknya. Berawal dari tugas motret yang mendekatkan, hingga akhirnya saya dan papi diajak menjadi bagian dari keluarga. Luar biasanya karena tidak pernah sekalipun kami menyinggung agama satu sama lain. Karena apa ? Semua agama itu baik.
Natal itu milik semua. Begitu juga hari keagamaan lain. Entah itu idul fitri, waisak, nyepi, galungan atau apapun namanya (maaf saya ga hapal semua) toleransi dan menghargai adalah segalanya.
Selamat hari natal dan tahun baru.
Kalau semua orang bisa menghargai perbedaan pasti kedamaian dunia akan selalu bersama kita tanpa mengurangi kecintaan terhadap agamanya sendiri. Semoga negara kita selalu bersatu dalam kerukunan antar umat beragamanya.
Mba, aku juga ingat saat masih kecil sering diajak orangtua untuk datang ke tetangga atau kenalan yang merayakan Natal dan Tahun Baru. kedamaian dan kebersamaan itu yang kita harapkan bersama 🙂
Tulisan yang menyejukkan hati Mak :’)
Jadi inget ketika kecil dulu di rmh ortu…. saat lebaran kami yg mayoritas muslim membagi2kan hantaran. Yg non muslim pun dapat. Ketika natal beberapa tetangga yg merayakan juga membagikan hantaran. Dan kami yg mayoritas muslim rata dapat semua….seru lah pokoknya…. jd kangen masa kecil. Hihi……
..
Wah seru ya mbak, asik tapi bisa berdampingan secara damai dan saling menghargai.
Saya juga alhamdulilah dikelilingi temen-temen yang baik hatinya mbak
Andai semua orang punya pikiran kayak kamu ya mba :).. Pasti damai hidup ini… Akupun terbiasa ama perbedaan dr kecil.. Tinggal di lingkungan heterogen yg saling menghargai, lalu kuliah stayed ama keluarga chinese budha, yg mana aku slalu ikut perayaan agamanya, skr kerja di lingkungan yg lbh banyak penganut nasraninya dripada muslim.. Tp toh kita rukun, saling ngerayain pas hr raya masing2. Heran aja dgn orang2 yg ga bisa terima perbedaan.. Kenapa.. Apa sih yg diajarin wkt kecil dulu.. Kenapa takut dgn orang2 yg beda..