Orang tua dan Busur Panah

Lekat – lekat ku pandang wajah Bapak yang semakin tampak menua, garis wajahnya semakin jelas ku lihat. Sembari memandang ke depan tengah mengamati orang – orang yang sibuk memancing di kolam orang yang tepat berada di depan rumah. Ada rasa yang campur aduk beradu di kalbu, aku ingin sering pulang walau tak banyak obrolan tercipta denganmu Pak karena katanya Bapak takut salah, Bapak kurang mengerti yang baru – baru, apalagi itha tinggal di kota, Bapak takut malah itha jadi bosen. Ahh Bapak…

Sembari memotong sayuran di depan pintu Mamah bercerita sekenanya, tentang teman pengajiannya atau sesuatu menarik di warung yang ditemuinya beberapa waktu lalu, atau tentang lelucon yang entah sudah berapa kali diceritakan dan menurutnya lucu. Aku tentu saja memasang ekspresi antusias, terkadang Mamah bertanya masih menarikkah ceritanya bagiku, tentu saja ku jawab iya. Lagi, Mamah takutnya itha bosan karena Mamah ketinggalan jaman, jadul katanya. Untuk mengejar, sudah tidak bisa. Mamah tertinggal terlalu jauh…

Ini akan jadi tulisan cerita, benar – benar cerita. Dari rumah tempat Bapak dan Mamah saya tinggal yang lokasinya berada di Kabupaten Bandung, rumah yang berada cukup jauh dari jalan utama, melewati sawah dan gang yang lebarnya tak lebih lebar 1 motor saja. Saya kadang tak mengerti mengapa keduanya memilih rumah di sini, sedang akses menuju rumah cukup sulit. Hanya saja saya tak berani bertanya, selama keduanya terlihat nyaman dan bahagia.

Setelah menjadi orang tua ( walau anak saya masih kecil-kecil ) saya jadi bisa menangkap beberapa hal, menjadi orang tua ibaratnya adalah menjadi busur panah yang melesatkan anak panahnya jauh ke depan berusaha tepat sasaran. 5 anak yang Mamah dan Bapak besarkan, semuanya cenderung tinggal merantau walau tidak jauh – jauh, tapi jarak kami ke rumah mereka setidaknya membutuhkan waktu tempuh 2 jam jika tidak macet.

Mungkin menjadi orang tua juga tentang merelakan perasaan saat melepas anak yang dijaga sedari bayi untuk dilepas kepada dunia dengan konsekuensinya, saya menjadi mengerti kenapa 90% dari teman – teman sekolah saya memilih untuk tetap di sana karena terhalang izin orang tua saat hendak bekerja di kota, saya semakin sayang kepada Mamah dan Bapak yang bersedia merelakan dan menikmati rasa sepi demi kami agar bisa menjejak lebih jauh, mendapat lebih banyak kesempatan dari yang mereka dapatkan.

Saya kemudian jadi mengerti, mengapa dulu Mamah begitu rewel soal ingin di SMS setiap hari, seolah menjadi kewajiban bahwa kami harus bertukar kabar setiap harinya. Baru beberapa tahun belakangan saya benar-benar mengerti perasaannya, ia hanya khawatir saya keadaan saya dan ya mengatasi perasaan jauh dari anak pasti sedikit terobati dengan pesan di layar hape. Bahkan suatu hari pas saya dan obi pulang, pernah kami mendapati Mamah tengah memeluk hape, ketika kami sampai ia menangis dan mengira kami takkan pulang setelah berbulan – bulan memang tidak bertemu ( brb ambil tisyu ).

Setelah itu, saya dan kakak lelaki saya bertekad. Kami harus sering pulang setidaknya seminggu sekali atau dua minggu sekali, demi Mamah.

Ya saya rindu sekali pada Mamah dan juga Bapak saat menulis ini, mereka orang tua terbaik. Saya tau pasti hingga saat ini keduanya melesatkan doa – doa, rela berpuasa untuk kami anak-anaknya agar Allah senantiasa menjaga kami katanya. Doa mereka tak pernah putus, harus saya akui segala hal baik yang terjadi pada saya pasti tak lepas dari doa mereka.

Saya sejujurnya ingin lebih sering menemui mereka, sekedar makan kangkung bersama atau menikmati sore di terasnya. Memandangi gurat wajah yang kian jelas tak pernah gagal membuat saya merasa berkaca-kaca, betapa mereka mengorbankan hidup dan banyak hal untuk melesatkan anak-anaknya sejauh yang mereka bisa.

Terima kasih Mamah Bapak, untuk kasih sayang yang tak pernah usai. Untuk waktu yang tak pernah bisa kembali yang dengan sukarela mereka beli, hormatku juga pada semua orang tua di seluruh dunia. Kalian semua hebat karena menjadi busur panah yang tegak melesatkan anak, merelakan diri tertinggal di belakang demi anak panah sampai di tujuan.

Bandung, 28 Juni 2019

3 thoughts on “Orang tua dan Busur Panah

  1. sedih bacanya teh :((…dulu aku pas ngekos kuliah mendiang ibu juga sering banget telepon nanya kapan pulang bahkan cuman nanya sudah makan?

    kalau pas pulang ke rumah pasti dimasakin semuanya duh kangen masa-masa itu

    semoga sehat2 ya teh mamah dan bapaknya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *