Ceuk Bapak ” Hujan Ge Aya Raatna “

Yasinyasintha.com – ” Sabar geulis, hujan ge aya raatna ” itu kalimat paling menenangkan di seluruh dunia saat saya merasa menjadi orang yang malang, kalimat  yang sudah akrab di telinga saya, kalimat dari Bapak.

I walked around 6 km a day to go school at junior high school, and 4 km at senior high school. You can imagine how strong my feet and how poor my shoes haha. Suatu hari, saya bilang ke Bapak bahwa sepatu saya sobek, tapi kita tak bisa beli sepatu baru ” Sabar geulis, hujan ge aya raatna “. Dan saya sedih mengapa dulu harus ngomong gitu ke Bapak, saat jadi orang tua saya jadi tau rasanya tidak bisa memenuhi keinginan anak. Maaf Bapak.

Ahh, brb ambil tisyu…

Rumah kami kebakaran saat saya SMP kelas 3, kami menumpang di rumah saudara Bapak. Setiap jam 4 pagi kami semua sudah bangun membersihkan seluruh ruangan. Kami cukup tau diri untuk berterima kasih diberikan tempat tinggal sementara. Mamah mencuci piring, obi ( kakak saya ) menyapu, saya mengepel, Bapak menyapu halaman.

Saya belum bisa sekolah, tidak ada seragam selama seminggu. Padahal sekolah adalah satu – satunya penghiburan saya saat itu. ” Bapak, Itha mau sekolah ” kata saya pada Bapak 3 hari setelah kebakaran. Mamah saya masih sering melamun, saya tak bisa berbincang dengannya, saya tak mau menyumbang air mata lebih banyak untuk Mamah.

Sabar nya geulis, hujan ge aya raatna. Ke sugan aya nu nyumbang seragam ” kata Bapak sambil menepuk punggung saya. Saya menyesal pernah bilang ini, saya tak tau luka macam apa yang Bapak telan saat saya bilang hal ini. Waktu bergulir, dan entah berapa puluh kali saya menyumbang perih pada Bapak hanya karena bilang ini itu.

Saat saya bekerja di Karapitan, saya harus bolak balik Bandung – Ciparay. Berangkat pukul setengah enam, pulang ke rumah pukul setengah dua belas malam. Perjalanan yang panjang, saya letih. Bapak selalu menunggu saya di pinggir jalan, menunggu saya turun dari bus.

Pernah suatu hari saya tergugu menangis pada Mamah dan Bapak, cape dan mendapati hal tidak enak di angkutan umum, merutuki kenapa hidup kita begini amat, padahal tak pernah sekalipun saya, Bapak atau Mamah berbuat jahat pada orang.

Bisa ditebak apa yang Bapak bilang. Sebulan kemudian saya kost. Pulang seminggu sekali, jarang bertemu Bapak. Saya naik jabatan, pindah kerja, menemukan nikmat dalam bekerja. Saya kini tau arti kata – kata Bapak sebenarnya, bahwa tak ada kesulitan yang berlangsung selamanya.

Bertahun – tahun tak pernah saya mengeluh lagi ini itu pada Mamah apalagi Bapak.  Segala macam sakit saya tahan, saya sudah cukup menyesal dengan apa yang sudah saya lakukan dulu dengan menyumbang luka pada setiap keluh kesah saat masih kecil hingga remaja. Saya yang belum cukup dewasa.

Namun dasar orang tua, mereka seakan tau apa yang terjadi pada saya belakangan. Ahh, tak usah saya ceritakan. Untuk pertama kali setelah sekian tahun, saat Bapak datang ke rumah, saya mendengar lagi ” Sabar nya geulis, hujan ge aya raatna ” sambil mengelusi pundak saya. Padahal saya tak pernah cerita apa – apa.

Mamah saya yang seorang fighter, sosok terkuat yang paling saya kenal selama hidup saya. Ia lebih tepat lagi dalam menebak apa yang tengah saya dan papi lalui, mamah lebih sering datang ke rumah. Menyemangati saya secara langsung dan bilang ” Tong eleh ku hirup Tha. Sok atuh ngerjakeun naon ngameh teu pusing teuing ” ya begitulah Mamah, selalu berusaha memberi dorongan pada saya untuk bergerak maju.

Dari Bapak saya belajar sabar, dari Mamah saya belajar arti berjuang. Sesuatu yang harus saya dan papi lakukan saat ini. Setiap waktu.

Beberapa malam lalu, saya memeluk papi. Pelukan paling erat dengan air mata yang tumpah ruah. Mengelusi pundaknya, sandaran terbaik di hidup saya dan berkata ” Sabar Papi, hujan ge aya raatna ” lalu kami menguat bersama.

Dan untuk pertama kali saya mengulangi kalimat Bapak, kalimat paling menenangkan di seluruh dunia. Allah tidak pernah tidur, tidak ada kesulitan yang berlangsung selamanya.

3 thoughts on “Ceuk Bapak ” Hujan Ge Aya Raatna “

  1. Daun jendela dibuka, dihadapan sana tanah lapang yang lenggang.

    Masih gelap. . .

    Bapak menatapnya, tak ada apa-apa yang bisa dilihat tapi bapak suka

    Kata bapak,
    Suatu saat anak laki laki juga harus bisa jadi tanah lapang yang tenang untuk anak-anaknya

    Pak, hari ini aku mengenangmu mendoakanmu

    Suka artikelnya, makasih ka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *